Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, selalu punya dimensi lain, betapa mulusnya akulturasi antara budaya Tionghoa, Dayak, dan kultur lokal lain di Kalimantan. Dan, stereotipe bahwa orang Tionghoa itu selalu jadi pengusaha dan kaya, patah di sini.
Cap Go Meh atau hari ke-15 tahun baru Imlek awal Februari lalu selalu menyisakan kisah unik dan gebyar sebuah perayaan yang penuh gegap gempita. Seluruh masyarakat Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dan sekitarnya, seakan tumpah menjadi satu.
Cap Go Meh merupakan akulturasi nyata budaya Tionghoa, Dayak, serta kebudayaan lokal di Kalimantan lainnya. Keunikan dan kelokalannya dapat membuat perbedaan dari yang konvensional festival itu sehingga memiliki nilai jual dan mampu menarik orang untuk datang.
Sekilas, Kota Singkawang berada sekitar 142 kilometer dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Selain berjuluk kota Seribu Kelenteng, kota ini juga berjuluk Kota Amoy.
Bila Anda berkunjung ke kota ini, dengan mudah dapat dijumpai kelenteng-kelenteng berbagai vihara yang usianya puluhan bahkan ratusan tahun.
Meski budaya Tionghoa cukup kental di kota ini, namun masyarakatnya, yang berasal dari beberapa suku (Melayu, Tionghoa, Dayak, Jawa, dan lainnya) hidup secara berdampingan dan saling menghargai satu sama lain.
Dalam festival-festival sebelumnya, Cap Go Meh di Singkawang selalu meriah. Salah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu adalah tatung, yakni pertunjukan kekebalan diri dari komunitas-komunitas di Singkawang dan sekitarnya. Para tatung umumnya berdandan menggunakan pakain tradisional China.
Ada yang berdiri di atas parang, pisau, bahkan pedang menjadi alas kaki para tatung.Tatung yang mengikuti parade perayaan Cap Go Meh itu tak hanya berasal dari Singkawang. Mereka juga datang dari berbagai daerah di Kalbar, bahkan didatangkan dari Pulau Jawa.
Dengan tandu berhiaskan bendera kebesaran dan senjata tajam, tatung menari, tertawa senang, hanyut dalam harumnya bau asap gaharu. Di sekitar tubuh para tatung dipenuhi tusukan senjata tajam. Ada yang bagian wajah sekitar mulut dipenuhi tusukan besi tajam. Ada yang terlihat menggigit binatang peliharaan seperti ayam dan anjing.
Turunnya para tatung menjadi tanda puncak perayaan Imlek, pada hari ke-15 yang disebut Cap Go Me. Sehari sebelumnya atau pada hari ke-14, para tatung telah berkeliaran di jalan, mengelilingi kota, mengunjungi setiap kelenteng, dan menjalankan ritual tanda penghormatan. Turunnya para tatung di hari itu dimaksudkan untuk melakukan pembersihan kampung dari segala jenis penyakit.
Menurut sejarah, parade tatung tersebut berawal saat pertambangan emas di Monterado diserang wabah penyakit. Diyakini penyebabnya adalah roh atau makhluk jahat. Mengatasi itu, tatung turun ke jalan, keluar masuk kampong diiringi genderang dan pembakaran gaharu, yang tidak putus-putusnya. Serangan roh atau makhluk jahat dapat dilawan dan perkampungan kembali menjadi tenteram.
Sumber: http://www.frontroll.com/kategori/berita-1636-cap-go-meh-dan-aksi-mistis-para-tatung.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar